Sejarah Singkat Rumah Sakit Santo Vincentius Singkawang

Rumah Sakit Santo Vincentius, milik Keuskupan Agung Pontianak, didirikan pada tanggal 6 September 1910 diberkati di bawah lindungan Santo Vincentius a Paulo dan merupakan Rumah Sakit pertama...(Selengkapnya)

Jenis-jenis Pelayanan

Rumah Sakit Santo Vincentius Singkawang memiliki.... (Selengkapnya)

Fasilitas Yang Dimiliki RS. St. Vincentius Singkawang

Rumah Sakit Santo Vincentius Singkawang Memiliki Fasilitas Berupa... (Selengkapnya)

Daftar Nama Dokter

Daftar Nama Dokter Spesialis dan Umum... (Selengkapnya)

Kegiatan Rumah Sakit Santo Vincentius Singkawang

Adapun kegiatan-kegiatan yang di laksanakan oleh RS. Santo Vincentius Singkawang antara lain : (Selengkapnya...)

FASILITAS


           
  1. INSTALASI GAWAT DARURAT ( IGD )

  2.        
  3. INSTALASI LABORATORIUM ( LAB ) < /li>

  4.        
  5. INSTALASI RADILOGI

  6.        
  7. INSTALASI GASTROCOPI ( SALUARAN CERNA)

  8.        
  9. INSTALASI FARMASI

  10.        
  11. INSTALASI BEDAH SENTRAL

  12.        
  13. INSTALASI REHABILITASI MEDIS

  14.        
  15. PELAYANAN RAWAT JALAN (POLIKLINIK)

  16.        
  17. PELAYANAN RAWAT INAP

  18.        
  19. INSTALASI INTENSIF CARE UNIT

  20.        
  21. PELAYANAN MEDIKAL CEK UP

  22.        
  23. INSTALASI RAWAT JALAN

  24.        
  25. INSTALASI PERAWATAN

  26.        
  27. INSTALASI GIZI

  28.      




    KEGIATAN PELATIHAN INTERNAL

    KEGIATAN PELATIHAN INTERNAL

    1. MENCUCI TANGAN





    2. PELATIHAN BANTUAN HIDUP DASAR

















    3. PELATIHAN K3
    A. BAHAYA KEBAKARAN



    4. PELATIHAN RESISUTASI PERINATOLOGI DAN ANAK








    5. PELATIHAN PENANGANAN OBSTRETI DAN NEONATUS EMERGENCY KOMPEREHENSIF ( PONEK )




    PELATIHAN P3K SMU IGNATIUS

    PELATIHAN P3K BAGI SISWA/I
    SMU IGNATIUS SINGKAWANG







    Dokter Spesialis Bedah Umum



    SPESIALIS BEDAH UMUM

    dr.Ahmad.,Sp.B

    dr. Rendy Susanto,Sp.B

    SENIN-RABU-JUM’AT DAN SABTU

    JAM : 10.00 – 14.00

    SENIN-RABU DAN JUM’AT

    JAM : 16.00 – 20.00

    SELASA DAN KAMIS

    JAM :16.00 -20.00

    SELASA DAN KAMIS

    JAM :10.00 -14.00

                           ADA DI TEMPAT


    SPESIALIS BEDAH UMUM


     

     

     

     

     

    Dokter Spesialis Psikiatri



    SPESIALIS KESEHATAN JIWA

    dr. Irham Yusuf Elere, Sp.KJ
    SELASA
    JAM : 09.00 Wib – 13.00 Wib
    RABU DAN JUM'AT
    JAM : 13.00 Wib – 17.00 Wib





    Dokter Spesialis Radiologi


            
    FOTO




    FOTO

    dr. Sri Sjamsudewi, Sp.Rad

    dr. Philip Waruna, M.P.H., Sp.Rad

    SENIN s/d JUM’AT :
    08.00 s/d 14.00 wiba
    SENIN s/d JUM’AT :
    08.00 s/d 14.00 wiba
    SABTU : 08.00 a/d 14.00 wiba
    MINGGU : II DAN IV
    SABTU : 08.00 a/d 14.00 wiba
    MINGGU : I DAN III
    ADA DI TEMPAT
    ADA DI TEMPAT
         



    Dokter Spesialis Patologi Klinik



    FOTO

    dr.Wahyu Fina Said, Sp.PK

    SENIN s/d SABTU 
    JAM : 15.00 s/d 17.00 wiba

    ADA DI TEMPAT

    DOKTER JAGA

    DOKTER JAGA
    dr, Frandy
    dr. Nikki Sitar Hutama
    dr. Helen Oktavia Sutiono
    dr. Scholastika Diana
    dr. Lira Mirandus
    dr. Ivana
    dr. Sandra Momas L
    dr. Novia
    dr. Brigita de Vega
    dr. Stevven Kelvin Anam
    dr. Yusta Wentri H
    dr. Ilman Hakim Arifin

    Apa Itu Difteri?

    Apa Itu Difteri, Penyebab dan Cara Mengobatinya.


    Apa itu Difteri?

    Difteri adalah infeksi bakteri yang umumnya menyerang selaput lendir pada hidung dan tenggorokan, serta terkadang dapat memengaruhi kulit. Penyakit ini sangat menular dan termasuk infeksi serius yang berpotensi mengancam jiwa.

    Menurut World Health Organization (WHO), tercatat ada 7.097 kasus difteri yang dilaporkan di seluruh dunia pada tahun 2016. Di antara angka tersebut, Indonesia turut menyumbang 342 kasus. Sejak tahun 2011, kejadian luar biasa (KLB) untuk kasus difteri menjadi masalah di Indonesia. Tercatat 3.353 kasus difteri dilaporkan dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2016 dan angka ini menempatkan Indonesia menjadi urutan ke-2 setelah India dengan jumlah kasus difteri terbanyak. Dari 3.353 orang yang menderita difteri, dan 110 di antaranya meninggal dunia. Hampir 90% dari orang yang terinfeksi, tidak memiliki riwayat imunisasi difteri yang lengkap.

    Difteri termasuk salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dan imunisasi terhadap difteri termasuk ke dalam program imunisasi wajib pemerintah Indonesia. Imunisasi difteri yang dikombinasikan dengan pertusis (batuk rejan) dan tetanus ini disebut dengan imunisasi DTP. Sebelum usia 1 tahun, anak diwajibkan mendapat 3 kali imunisasi DTP. Cakupan anak-anak yang mendapat imunisasi DTP sampai dengan 3 kali di Indonesia, pada tahun 2016, sebesar 84%. Jumlahnya menurun jika dibandingkan dengan cakupan DTP yang pertama, yaitu 90%.

    Penyebab Difteri

    Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.  Penyebaran bakteri ini dapat terjadi dengan mudah, terutama bagi orang yang tidak mendapatkan vaksin difteri. Ada sejumlah cara penularan yang perlu diwaspadai, seperti:

    Terhirup percikan ludah penderita di udara saat penderita bersin atau batuk. Ini merupakan cara penularan difteri yang paling umum.
    Barang-barang yang sudah terkontaminasi oleh bakteri, contohnya mainan atau handuk.
    Sentuhan langsung pada luka borok (ulkus) akibat difteri di kulit penderita. Penularan ini umumnya terjadi pada penderita yang tinggal di lingkungan yang padat penduduk dan kebersihannya tidak terjaga.
    Bakteri difteri akan menghasilkan racun yang akan membunuh sel-sel sehat dalam tenggorokan, sehingga akhirnya menjadi sel mati. Sel-sel yang mati inilah yang akan membentuk membran (lapisan tipis) abu-abu pada tenggorokan. Di samping itu, racun yang dihasilkan juga berpotensi menyebar dalam aliran darah dan merusak jantung, ginjal, serta sistem saraf.

    Terkadang, difteri bisa jadi tidak menunjukkan gejala apapun sehingga penderitanya tidak menyadari bahwa dirinya terinfeksi. Apabila tidak menjalani pengobatan dengan tepat, mereka berpotensi menularkan penyakit ini kepada orang di sekitarnya, terutama mereka yang belum mendapatkan imunisasi.

    Gejala Difteri

    Difteri umumnya memiliki masa inkubasi atau rentang waktu sejak bakteri masuk ke tubuh sampai gejala muncul 2 hingga 5 hari. Gejala-gejala dari penyakit ini meliputi:

    Terbentuknya lapisan tipis berwarna abu-abu yang menutupi tenggorokan dan amandel.
    Demam dan menggigil.
    Sakit tenggorokan dan suara serak.
    Sulit bernapas atau napas yang cepat.
    Pembengkakan kelenjar limfe pada leher.
    Lemas dan lelah.
    Pilek. Awalnya cair, tapi lama-kelamaan menjadi kental dan terkadang bercampur darah.
    Difteri juga terkadang dapat menyerang kulit dan menyebabkan luka seperti borok (ulkus). Ulkus tersebut akan sembuh dalam beberapa bulan, tapi biasanya akan meninggalkan bekas pada kulit.

    Segera periksakan diri ke dokter jika Anda atau anak Anda menunjukkan gejala-gejala di atas. Penyakit ini harus diobati secepatnya untuk mencegah komplikasi.


    Diagnosis dan Pengobatan Difteri

    Untuk menegakkan diagnosis difteri, awalnya dokter akan menanyakan beberapa hal seputar gejala yang dialami pasien. Dokter juga dapat mengambil sampel dari lendir di tenggorokan, hidung, atau ulkus di kulit untuk diperiksa di laboratorium.

    Apabila seseorang diduga kuat tertular difteri, dokter akan segera memulai pengobatan, bahkan sebelum ada hasil laboratorium. Dokter akan menganjurkannya untuk menjalani perawatan dalam ruang isolasi di rumah sakit. Lalu langkah pengobatan akan dilakukan dengan 2 jenis obat, yaitu antibiotik dan antitoksin.

    Antibiotik akan diberikan untuk membunuh bakteri dan menyembuhkan infeksi. Dosis penggunaan antibiotik tergantung pada tingkat keparahan gejala dan lama pasien menderita difteri.

    Sebagian besar penderita dapat keluar dari ruang isolasi setelah mengonsumsi antibiotik selama 2 hari. Tetapi sangat penting bagi mereka untuk tetap menyelesaikan konsumsi antibiotik sesuai anjuran dokter, yaitu selama 2 minggu.

    Penderita kemudian akan menjalani pemeriksaan laboratorium untuk melihat ada tidaknya bakteri difteri dalam aliran darah. Jika bakteri difteri masih ditemukan dalam tubuh pasien, dokter akan melanjutkan penggunaan antibiotik selama 10 hari.

    Sementara itu, pemberian antitoksin berfungsi untuk menetralisasi toksin atau racun difteri yang menyebar dalam tubuh. Sebelum memberikan antitoksin, dokter akan mengecek apakah pasien memiliki alergi terhadap obat tersebut atau tidak. Apabila terjadi reaksi alergi, dokter akan memberikan antitoksin dengan dosis rendah dan perlahan-lahan meningkatkannya sambil melihat perkembangan kondisi pasien.

    Bagi penderita yang mengalami kesulitan bernapas karena hambatan membran abu-abu dalam tenggorokan, dokter akan menganjurkan proses pengangkatan membran. Sedangkan penderita difteri dengan gejala ulkus pada kulit dianjurkan untuk membersihkan bisul dengan sabun dan air secara seksama.

    Selain penderita, orang-orang yang berada di dekatnya juga disarankan untuk memeriksakan diri ke dokter karena penyakit ini sangat mudah menular. Misalnya, keluarga yang tinggal serumah atau petugas medis yang menangani pasien difteri.

    Dokter akan menyarankan mereka untuk menjalani tes dan memberikan antibiotik. Terkadang vaksin difteri juga kembali diberikan jika dibutuhkan. Hal ini dilakukan guna meningkatkan proteksi terhadap penyakit ini.


    Komplikasi Difteri

    Pengobatan difteri harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran sekaligus komplikasi yang serius, terutama pada penderita anak-anak. Diperkirakan 1 dari 5 penderita balita dan lansia di atas 40 tahun meninggal dunia akibat komplikasi difteri.

    Jika tidak diobati dengan cepat dan tepat, toksin dari bakteri difteri dapat memicu beberapa komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa. Beberapa di antaranya meliputi:

    Masalah pernapasan. Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi bakteri difteri akan membentuk membran abu-abu yang dapat menghambat pernapasan. Partikel-partikel membran juga dapat luruh dan masuk ke paru-paru. Hal ini berpotensi memicu reaksi peradangan pada paru-paru sehingga fungsinya akan menurun secara drastis dan menyebabkan gagal napas.
    Kerusakan jantung. Selain paru-paru, toksin difteri berpotensi masuk ke jantung dan menyebabkan peradangan otot jantung atau miokarditis. Komplikasi ini dapat menyebabkan masalah, seperti detak jantung yang tidak teratur, gagal jantung, dan kematian mendadak.
    Kerusakan saraf. Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami masalah sulit menelan, masalah saluran kemih, paralisis atau kelumpuhan pada diafragma, serta pembengkakan saraf tangan dan kaki. Paralisis pada diafragma akan membuat pasien tidak bisa bernapas sehingga membutuhkan alat bantu pernapasan atau respirator. Paralisis diagfragma dapat terjadi secara tiba-tiba pada awal muncul gejala atau berminggu-minggu setelah infeksi sembuh. Karena itu, penderita difteri anak-anak yang mengalami komplikasi umumnya dianjurkan untuk tetap di rumah sakit hingga 1,5 bulan.
    Difteri hipertoksik. Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat parah. Selain gejala yang sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik akan memicu pendarahan yang parah dan gagal ginjal.


    Pencegahan Difteri dengan Vaksinasi

    Langkah pencegahan paling efektif untuk penyakit ini adalah dengan vaksin. Pencegahan difteri tergabung dalam vaksin DTP. Vaksin ini meliputi difteri, tetanus, dan pertusis atau batuk rejan.

    Vaksin DTP termasuk dalam imunisasi wajib bagi anak-anak di Indonesia. Pemberian vaksin ini dilakukan 5 kali pada saat anak berusia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan, satu setengah tahun, dan lima tahun. Selanjutnya dapat diberikan booster dengan vaksin sejenis (Tdap/Td) pada usia 10 tahun dan 18 tahun. Vaksin Td dapat diulangi setiap 10 tahun untuk memberikan perlindungan yang optimal.

    Apabila imunisasi DTP terlambat diberikan, imunisasi kejaran yang diberikan tidak akan mengulang dari awal. Bagi anak di bawah usia 7 tahun yang belum melakukan imunisasi DTP atau melakukan imunisasi yang tidak lengkap, masih dapat diberikan imunisasi kejaran dengan jadwal sesuai anjuran dokter anak Anda. Namun bagi mereka yang sudah berusia 7 tahun dan belum lengkap melakukan vaksin DTP, terdapat vaksin sejenis yang bernama Tdap untuk diberikan.

    Perlindungan tersebut umumnya dapat melindungi anak terhadap difteri seumur hidup.

    TENTANG RSSV

    PELAYANAN
    1. INSTALASI GAWAT DARURAT ( IGD )
    2. INSTALASI LABORATORIUM ( LAB )
    3. INSTALASI RADIOLOGI (RONTGEN / USG / CT SCAN)
    4. INSTALASI FARMASI (APOTIK)
    5. UNIT HEMODIALISA
    6. INSTALASI REHABILITASI MEDIS (FISIOTERAPI)
    7. INSTALASI ENDOSCOPY ( SALURAN PENCERNAAN)
    8. MEDICAL CEK UP
    9. PELAYANAN RAWAT JALAN (POLIKLINIK)
    10. INSTALSI BEDAH CENTRAL
    11. RUANG RAWAT INAP
    12. INSTALASI (HCU / ICU )
    13. PENYULUHAN GIZI
    14. AMBULANCE
    15. KEROHANIAN
    16. RUMAH DUKA
    17. KANTIN
    18. PARKIR
    19. .

    JAM BERKUNJUNG
    1. PAGI : 11.00 - 13.00 Wiba
    2. SORE : 18.00 - 20.00 Wiba

    JAM BERKUNJUNG PADA KONDISI TERTENTU HARAP MENGHUBUNGI SATPAM